JUMAT, 24 AGUSTUS 2012-DENMAS PRIYADI BLOG: Dalam lakon wayang, “Wahyu
Makutoromo”, ajaran HASTABRATA disampaikan oleh Sri Betoro Kresno kepada Raden
Arjuna. HASTA berarti 8 dan BRATA berarti tingkah laku atau watak. Jadi
HASTABRATA merupakan 8 prilaku yang harus dimiliki dan dijalani oleh setiap
pemimpin.
Untuk pertamakalinya HASTABRATA disampaikan
oleh Raden Regowo, titisan Bhatara Wisnu dari Ayodya kepada adiknya Barata
sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata dalam lakon
Romo Tundung. Selanjutnya oleh Raden Regowo disampaikan pula kepada Raden
Wibisana adik Rahwana dalam lakon “Rahwana Pejah”, “Bedah Alengka”. Dikatakan
bahwa kedelapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku
sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin
negara dan bangsa dengan implementasi prinsip-prinsip hukum alamiah.
Adapun isi ajaran HASTABRATA adalah
bahwa setiapa pemimpin harus memiliki jiwa dan prilaku sebagai berikut:
1. Watak Surya atau matahari diteladani oleh Bhatara Surya
Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat
semua makhluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuh
kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara dengan bekal
lahir dan batin untuk dapat tetap berkarya.
2. Watak Candra atau Bulan diteladani oleh Bhatari Ratih
Bulan memancarkan sinar kegelapan malam. Cahaya bulan yang lembut mampu
menumbuhkan semangat dan harapan-harapan yang indah. Seorang pemimpin hendaknya
mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya,
dalam suasana suka dan duka.
3. Watak Kartika atau Bintang diteladani oleh Bhatara Ismoyo
Bintang memancarkan sinar indah kemilau, mempunyai tempat yang tepat di
langit hingga dapat menjadi pedoman arah. Seorang pemimpin hendaknya menjadi
suri teladan (Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tutwuri
Handayani). Tidak ragu lagi menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak
mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.
4. Watak Angkasa yaitu Langit diteladani oleh Bhatara Indra
Langit itu luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang
padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan
mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung pendapat
rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Watak Maruta atau Angin diteladani oleh Bhatara Bayu
Angin selalu ada di mana-mana, tanpa membedakan tempat serta
selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat
dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bisa mengetahui
keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat.
6. Watak Samudra yaitu Laut atau Air diteladani oleh Bhatara Baruna
Laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang
rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan
semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil,
bijaksana, dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Watak Dahana atau Api diteladani oleh Bhatara Brahma
Api mempunya kemampuan untuk membakar habis dan menghancur
leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya
berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan
tuntas tanpa pandang bulu.
8. Watak Bumi yaitu Tanah diteladani oleh Bhatara Wisnu
Bumi mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada
siapa pun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Seorang pemimpin
hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa
berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya.
A. LAKON “WAHYU MAKUTARAMA”
1. Pengantar
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah bukti kepiawaian para pujangga Nusantara
dalam mengadopsi cerita wayang, yang aslinya dari India. Epos India terdiri
dari “Ramayana” dan “Mahabharata”. Lakon “Wahyu Makutarama” adalah hasil karya
leluhur Nusantara kita, merupakan “titik temu” atau “jembatan penghubung”
antara kedua kisah tadi, Dalam lakon ini ada tokoh Gunawan Wibisana dan Anoman,
tokoh dalam kisah Ramayana.
2. Ringkasan lakon “Wahyu Makutarama”.
Syahdan, para dewa mengabarkan kepada para insan marcapada, bahwa telah
ada Mahkota yang diberi nama Sri Batara Rama. Barangsiapa memiliki mahkota itu,
akan menjadi sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di
marcapada. Karena berkhasiat menurunkan raja-raja, kemudian sering disebut
sebagai “Wahyu Makutarama”.
Prabu Duryudana dari Astina mengutus Adipati Karna untuk memperoleh
mahkota sekaligus wahyu tadi. Adipati Karna, dengan diiringi para senapati
Kurawa, pergi menemui Begawan Kesawasidi di pertapaan Kutharunggu. Karna
meminta wahyu itu, yang diyakininya berada di tangan Kesawasidi. Kesawasidi
mengatakan dia tidak punya Makutarama. Adipati Karna marah, dan melepaskan
panahnya, yang disambut oleh Anoman, pendamping Kesawasidi. Panah itu ditangkap
Anoman, kemudian dipersembahkan kepada Kesawasidi. Bukannya dipuji, Anoman
malah ditegur Kesawasidi, karena, dapat dipandang sebagai meragukan kepiawaian
kanuragan gurunya. Setelah Karna pergi, datanglah Begawan Wibisana, adik
Rahwana, yang sudah berusia lanjut dan ingin segera meninggalkan dunia, kembali
ke alam asal. Tidak dilayani oleh Kesawasidi, hingga terjadi pertempuran.
Kesawasidi “tiwikrama”, dan sadarlah WIbisana bahwa Kesawasidi titisan Rama,
bekas junjungannya dulu. Kesawasidi memberi petunjuk cara kembali ke alam asal.
Wibisana pamit, dan dalam perjalanan ke alam asal bertemu sukma Kumbakarna,
kakaknya dulu, yang sedang gelisah. Wibisana menasehati Kumbakarna supaya
menyatu dengan Bima, ksatria Pandawa. Sementara itu, Arjuna juga berupaya
mendapatkan Makutarama. Dia pergi diam-diam dari istananya, kemudian menyamar
sebagai pendeta. Selagi bersemedi, Arjuna mendapat “wangsit” untuk menemui
Begawan Kesawasidi. Setelah
Arjuna datang menghadap, tahulah Kesawasidi bahwa sudah tiba saatnya memberikan
wahyu itu kepada orang yang tepat. Diwedarkannya rahasia bahwa Makutarama
bukanlah berujud benda, tetapi berupa ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman
dan dilakoni oleh manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin.
Ajaran luhur ini dinamakan “Asta Brata”, yang intinya meneladan sifat-sifat
alam dalam melakoni kehidupan. Asta Brata ini dulunya diajarkan Rama kepada
Wibisana, sepeninggal Rahwana, sebagai bekal bagi Wibisana menjadi raja Alengka
menggantikan Rahwana.
Sepeninggal
Arjuna, Bima mencarinya. Dalam pencarian itu, ketemu sukma Kumbakarna, yang
kemudian merasuk ke paha kiri Bima. Istri Arjuna, Sumbadra, juga mencari
Arjuna. Sumbadra dibantu Betara Narada, dan berubah rupa menjadi ksatria, yang
kemudian pergi ke Kutharunnggu menantang perang Arjuna. Dalam perang tanding itu, Kesawasidi datang. dan “badar” lah semuanya.
Kesawasidi kembali ke wujud Kresna, sang ksatria penantang kembali menjadi
Sumbadra. Arjuna mewarisi wahyu Makutarama
berupa ajaran “Asta Brata”, yang kelak diwariskan kepada puteranya, Abimanyu. Anak Abimanyu,
Parikesit, belakangan mewarisi tahta kerajaan Hastina.
B. “ASTA
BRATA”.
1. Inti ajaran
Asta Brata.
Ajaran Astabrata pada awalnya
merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut
terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah
bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan
kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat
dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun
tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang
dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki
jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan. Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah
berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya.
Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana.
Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa
yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang
disebut dengan Asthabrata.
Dalam lakon Wahyu Makutarama,
Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan
menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna
kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja. Asta Brata adalah simbol alam
semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan
keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut
merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang
diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar malapetaka. Bila
manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta, maka
selaraslah kehidupannya.
Delapan simbol
alam itu adalah: bumi, geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan.
Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata,
sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum
sebagai: “Dapat
memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan
tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat,
mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan
bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang
kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam
mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”
2. Beberapa
versi rumusan Asta Brata
a. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta: “Asta Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi /
sifat alam, yaitu:
1. Mahambeg
Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Seperti halnya bumi, seorang pemimpin
berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia
mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja
tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia
tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.
2. Mahambeg
Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat air, mengalir dari tinggi
ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa
menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat
akan merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram
bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin
dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa
rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada
pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.
3. Mahambeg
Mring Samirono (meniru sifat angin)
Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana
saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua
strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif
(membeda-bedakan).
4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat
bulan)
Seperti
sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati
rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak
menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena
aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.
5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat
matahari)
Seperti sifat matahari yang memberi sinar
kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin
dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi
rakyatnya.
6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat
laut/samudra)
Seperti sifat lautan, luas tak bertepi,
setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan
membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang
laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang
pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua
aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian
terhadap rakyatnya.
7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat
gunung)
Seperti sifat gunung, yang teguh dan
kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis
serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya.
Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang
ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa
kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan
tanah.
8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat
api)
Seperti sifat api, energi positif seorang
pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya
mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan
kepada rakyatnya.
b. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga
Warsita. Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan)
watak alam. Hasta berarti delapan, brata berarti laku atau watak.
1. Watak Surya atau srengenge
(matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah.
2. Watak Candra
atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi
jatmika, prabawa sreping bawana.
3. Watak Sudama
atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora
lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu
ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola wali.
4. Watak Maruta
atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa
tumindake punggawa kanthi cara alus.
5. Watak
Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan
adil paring paukuman.
6. Watak Dahana
atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut
kababadan, kang apateng pinadhangan.
7. Watak Tirta
atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil paramarta. Basa
angenaki krama tumraping kawula.
8. Watak
pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah
marang kawula.
c. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi
(Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut:
1. “kapisan
bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya
kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang
kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape
ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga
dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.
2. Kapindho
hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng,
sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi
anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.
3. Katelu
hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri.
Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan,
puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating
sagung dumadi.
4. Kaping pate
hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang
akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana
ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala
antuk pidana, yen becik antuk nugraha.
5. Kalima
ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune
titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh
winengku ing maruta.
6. Kaping nem
hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas
sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
7. Kasapta
hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing
samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya
pikukuh hamimbuhi santosa.
8. Kaping wolu
hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para
wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.
C. NILAI DAN TELADAN
a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia
Internasional.
Ada banyak rumusan Asta Brata.
Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhanas). Apakah ajaran ini bersifat Universal,
dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja? Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula
di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa
apa sifat ajaran Universalnya?
Yaitu, bahwa
manusia harus hidup selaras dengan alam.
Di Negeri
China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang
berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.
Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara
(Angin) dan Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap? Ternyata, tidak sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam ajaran Asta Brata? Tanpa ruang, di manakah unsur-unsur
alam itu berada? Artinya, tidak semua yang terlihat berbeda itu
benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada
kesamaan di antara perbedaan.
b. Esensi Makna Asta Brata
Asta Brata bukan hanya berlaku
bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti
“hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga
memberi manfaat bagi sesama”.
Seorang pemimpin yang tidak mampu
melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata
yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata, berarti ia adalah rakyat
jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya. “Dapat
memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan
tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat,
mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan
bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang
kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam
mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.” (http://budayaleluhur.blogspot.com-Warisan Adiluhung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar