SEMBILAN
POKOK AJARAN SYEKH SITI JENAR
MINGGU, 26 AGUSTUS 2012 - DENMAS PRIYADI BLOG: Tema seminar/sarasehan budaya hari
ini adalah agama ageming aji, yaitu agama sebagai nilai-nilai luhur yang
menjadi landasan hidup bangsa Indonesia, sesuai dengan sila pertama pada
Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dalam bingkai ageming aji bukanlah
agama dalam arti golongan atau agama sebagai organisasi (organized religion),
tetapi agama sebagai basis moralitas dan perilaku manusia.
Agama dalam arti ini pernah menjadi
polemik dan perang wacana di Kepulauan Nusantara –karena Indonesia belum lahir–
dan tepatnya di P. Jawa pada pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad
ke-16.
Tokoh sentral dalam polemik dan
perang wacana pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar atau dikenal dengan nama
Syekh Lemah Abang. Dia seorang guru dan pelaku spiritual yang mengajarkan agama
sebagai jalan hidup dan bukan sebagai kepercayaan. Meskipun Syekh seorang
muslim, tetapi ajarannya menarik berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang
ada waktu itu. Mereka yang belajar dan menjadi murid Syekh berasal dari
berbagai kalangan, baik kalangan elite –yaitu para adipati– maupun rakyat
biasa. Mereka berasal dari pemeluk Hindu, Biddha, Syiwa-Buddha, Islam, dan
pemeluk kepercayaan yang berkembang di Jawa waktu itu.
Apa yang diajarkan oleh Syekh Siti
Jenar sehingga daya tarik ajarannya luar biasa dan menyebabkan penguasa
Kesultanan Demak Bintara kegerahan waktu itu? Yang diajarkan sebenarnya
bukanlah hal yang asing bagi mereka yang hidup di Kep. Nusantara waktu itu.
Yang diajarkan adalah paham MKG (Manunggaling Kawula Gusti), yaitu satunya
hamba dengan Tuhan. Paham ini sudah ada di agama Hindu dan Buddha yang sebelum
berdirinya Kesultanan Demak, dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara. Paham
ini diikuti oleh kalangan sufi dalam agama Islam. Bahkan, mereka yang dikenal
sebagai anggota Walisanga juga berpaham MKG. Padahal, berdasarkan sejarah
Walisanga yang bergelar sunan itu adalah pendukung dan penasehat Sultan Demak
di zaman itu.
Meskipun Walisanga dan Syekh Siti
Jenar sepaham, tetapi pada tataran implementasinya dalam kehidupan berbeda.
Bagi Siti Jenar, MKG merupakan landasan, jalan dan alat untuk menjadikan
manusia merdeka sejati. MKG menggerakkan manusia untuk menjadi dirinya sendiri,
menjadikan manusia yang memiliki kepribadian. Inilah inti dari MKG yang
diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Tentu pikiran semacam ini melompat terlalu
jauh ke depan pada zamannya. Jangankan pada masa 500 tahun yang lalu, dewasa
ini saja sebagian besar orang tidak hidup sebagai pribadi, tetapi hidup
berdasarkan pikiran orang lain.i Sedangkan MKG yang diajarkan oleh Walisanga
lebih bersifat teoritis, dan tidak memberikan implikasi nyata dalam kehidupan
masyarakat.
Ajaran MKG Siti Jenar mendobrak
feodalisme yang tumbuh subur pada masa itu, sedangkan Walisanga justru
melanggengkan sistem feodalisme. Syekh membangkitkan kesetaraan antara kawula
(rakyat) dengan rajanya (Gusti). Walisanga melestarkan sistem rakyat menyembah
raja. Syekh membebaskan orang dari belenggu ketakhayulan dan pikiran picik,
sedangkan Walisanga malah menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat
kekuasaan.
Puncak pertarungan paham berakhir
ketika Sultan Patah memerintahkan Walisanga untuk menghentikan kegiatan
mengajar Syekh dan pengikutnya dihancurkan. Untung tak dapat diraih malang tak
dapat ditolak, kata peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar dipadamkan –meski
demikian, ajaran SSJ tetap berjalan dan disampaikan secara sembunyi-sembunyi.
Rakyat patuh kepada raja secara pasif, sedangkan kalangan elite berebut
kekuasaan. Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang panjang, Demak jatuh disusul
dengan berdirinya Pajang, dan dalam satu generasi saja Pajang hilang dan muncul
Mataram.
Karena rakyat bodoh dan elite
kerajaan berebut kekuasaan, maka Mataram hanya dalam kurun waktu 50 tahun
berdiri sudah goyah karena adanya infiltrasi VOC, yang akhirnya Mataram menjadi
negara taklukan VOC. Hal ini saya sampaikan dalam seminar/sarasehan ini agar
dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Dengan memperhatikan kembali
ajaran Syekh Siti Jenar kita akan dididik untuk menjadi manusia merdeka,
sehingga siap untuk menahan gangguan dan ancaman asing agar bangsa Indonesia
tidak terus-menerus terjajah oleh negara lain dalam segala bentuknya.
Sembilan Ajaran Pokok Syekh Siti
Jenar
Sebagaimana dituturkan di atas,
manusia hidup di atas bangunan opini atau pendapat orang lain. Pada umumnya
manusia tidak mengetahui hakikat hidupnya sendiri, dan tidak mengetahui dengan
pasti apa yang akan terjadi pada dirinya. Pikiran sebagian besar orang
merupakan pendapat orang lain, sehingga kita berbicara menggunakan bahasa orang
lain. Mereka yang berpengaruhlah yang telah menanamkan pengaruhnya yang berupa
bahasa, perilaku, pendapat, dan sebagainya untuk membangun identitas tunggal.
Adalah Kierkegaard –seorang filosof
Barat– yang menyatakan bahwa sekelompok besar orang selalu menghilangkan
identitas pribadi. Oleh karena itu, sebagian besar orang yang beragama (memeluk
agama resmi) biasa melakukan ritual dan menjalankan apa yang biasa dilakukan
atau diharapkan oleh orang lain, tanpa penghayatan pribadi apa yang
dilakukankannya. Kebanyakan orang hidup dalam kedangkalan dan formalisme
kosong, dan demikianlah yang terjadi sehingga seluruh generasi terjebak
dipinggiran akal budi yang berlumpur. Inilah yang menyebabkan roda kemajuan
berhenti berputar.[i]
Pendapat sebagai hasil olah pikir
manusia berkembang terus, dan bila pemikiran seseorang, suatu golongan atau
bangsa mandek, maka ia akan terlindas oleh perubahan yang terjadi di dunia ini.
Bangsa yang pemikirannya terlindas atau tertinggal akan menemui banyak masalah
dalam hidupnya, dan kenyataan itu bisa kita saksikan dewasa ini. Perhatikanlah
apa yang terjadi pada negara-negara tidak maju atau sedang berkembang!
Kemiskinan, kebodohan, mutu kesehatan yang rendah, serta rusaknya lingkungan
hidup merupakan bukti mandeknya pemikiran.
Tanpa berpikir manusia tidaklah sama
dengan hewan, tetapi malah lebih buruk daripada kehidupan hewan. Bila hewan
lapar, maka secara naluri akan tertuntun menuju sumber makanan, tetapi tanpa
berpikir untuk mencari makan manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itu,
manusia berandai-andai, dan perlu berasumsi. Manusia berusaha menggunakan
akal-pikirannya untuk menciptakan nilai tambah pada segala sesuatu yang ada di
sekitarnya. Berbagai benda diberi nilai atau “aji” sesuai dengan tingkat
kelangkaannya.
Pendapat apabila sudah diterima oleh
suatu kelompok orang maka akan menjadi kebenaran bagi kelompok itu. Meskipun
kitab-kitab suci dalam berbagai agama dikategorikan sebagai wahyu dan bukan
pendapat, tetapi dalam implementasinya tetap menggunakan olah pikir alias
pendapat. Dan, pendapat tentunya dimaksudkan untuk menyamankan, memudahkan, dan
menimbulkan kesejahteraan umat. Itulah pendapat yang diperlukan!
Jadi, bukan kebenaran hakiki atau
kebenaran harfiah suatu pendapat yang perlu diperhatikan. Yang perlu
diperhatikan adalah apakah pendapat itu bisa digunakan untuk menimbulkan kesejahteraan
dan kebahagiaan bagi umat manusia, minimal bagi mereka yang meyakini pendapat
itu. Dan, yang perlu kita tolak adalah pendapat yang menimbulkan kezaliman,
kesengsaraan dan kriminalitas bagi manusia.
Nah, ajaran pokok yang pertama dari
Syekh Siti Jenar adalah tidak mengabsolutkan pendapat. Pendapat boleh
diperdebatkan, akan tetapi pendapat tidak untuk melindas pendapat orang lain.
Munculnya berbagai mazhab dalam berbagai agama di dunia membuktikan bahwa
ajaran agama pasca pendirinya sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan
dari ajaran asal agama itu. Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran yang
dibangun atas akseptabilitas masyarakat atau komunitas tempat pendapat itu
berkembang.
Ajaran pokok yang kedua adalah menjadi manusia hakiki, yaitu manusia yang merupakan
perwujudan dari hak, kemandirian, dan kodrat.
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap awal untuk menjadi manusia hakiki. Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan melatihnya agar bisa menjadi manusia yang hidup mandiri. Ia harus diarahkan agar mampu hidup yang tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian, kehidupan mandiri akan tercapai bila terjadi kesalingtergantunga n antar anggota masyarakat dan sekaligus kemerdekaan (interdependence and independence) .
Perhatikanlah keadaan ekonomi
masyarakat Indonesia sekarang ini. Kita amat sangat tergantung pada bantuan
atau hutang luar negeri. Negara yang dilimpahi kekayaan alam yang luar biasa
ini justru dihisap oleh negara-negara maju di dunia ini. Setiap bayi yang
dilahirkan yang seharusnya merupakan aset negara, ternyata tumbuh menjadi
manusia-manusia pencari kerja dan bahkan menjadi beban negara. Hal ini
disebabkan terjadinya manusia-manusia yang tergantung pada orang lain. Hubungan
yang terjadi adalah hubungan orang-orang lemah dengan orang-orang kuat. Yang
lemah merasa sangat memerlukan yang kuat, sedangkan yang kuat berbuat tidak
semena-mena terhadap mereka yang lemah.
Akibat dari keadaan tersebut tambah
tahun pengangguran akan semakin bertambah besar. Yang menjadi gantungan relatif
tetap, sedangkan yang menggatungkan diri bertambah banyak. Terjadi relasi yang
tidak seimbang, sehingga kehidupan masyarakat menjadi rawan.
Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak dan kemandirian dalam kehidupan masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa pribadi. Kodrat tidak didapat dari luar diri. Dengan demikian kodrat tidak berasal dari pelatihan dan pendididikan. Tetapi kodrat harus diberikan ruang yang kondusif agar suatu bentuk kemampuan khusus yang dianugerahkan pada setiap orang bisa terwujud. Dalam hal ini, pelatihan akan meningkatkan kualitas kodrat yang dimiliki seseorang.
Dalam psikologi kodrat dapat
dikatakan hampir sama dengan talenta. Bila seseorang tidak diberikan kesempatan
untuk dapat mengaktualisasikan dirinya, maka kodratnya kemungkinan besar tak
akan terwujud. Padahal, kodrat yang ada pada diri seseorang itulah yang bisa
menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Bila setiap orang bisa
mewujudkan kodratnya, maka akan terwujud hubungan yang saling memberikan dan
sekaligus saling membutuhkan. Setiap orang akan memiliki nilai tawar bagi orang
lain.
Harmonisasi dan ikatan antar warga
negara akan menguat bila sebagian besar penduduknya bisa mewujudkan ketiga
unsur manusia hakiki tersebut. Keragaman masyarakat pun kecil dan kesenjangan
ekonomi dapat dinihilkan. Akhirnya jati diri manusia akan muncul dengan
sendirinya, dan kita akan menjadi bangsa yang kokoh dan tidak mudah
diprovokasi.
Ajaran pokok Syekh yang ketiga adalah hubungan antara satu orang dengan orang lain
merupakan hubungan kodrat dan iradat. Hubungan satu orang dengan orang lain
bagaikan hubungan kerja dalam satu tim, sehinga tidak terjadi hubungan posisi
yang memerintah dan yang diperintah. Tak ada hubungan kekuasaan. Antara manusia
yang satu dengan yang lain terikat oleh kodrat dan iradatnya, sehingga seperti
hubungan sel yang yang satu dengan sel lainnya dalam satu tubuh, dan hubungan
organ yang satu dengan organ lainnya dalam satu tubuh.
Kalau kita amati cara kerja
organ-organ dalam tubuh manusia, maka kita akan ketahui bahwa masing-masing
organ –seperti otak, penglihatan, penciuman, pendengaran, paru-paru, jantung,
hati, ginjal, usus, dan lain-lain– akan bekerja sama, dan masing-masing
menjalankan peranannya. Seharusnya kehidupan masyarakat manusia juga demikian.
Dengan mewujudkan masyarakat yang berupa kumpulan manusia-manusia hakiki,
masing-masing orang atau kelompok menjalankan fungsinya dengan benar, maka akan
terbentuk kehidupan yang sehat dan tidak terjadi penghisapan antara orang yang
satu terhadap orang lainnya. Inilah kehidupan dunia yang didambakan oleh Syekh
Siti Jenar, yang justru sekarang tumbuh dan berkembang di negara maju.
Ajaran pokok yang keempat : segala sesuatu di alam semesta ini adalah satu dan hidup.
Dalam salah satu pupuhnya disebutkan bahwa bumi, angkasa, samudra, gunung dan
seisinya, semua yang tumbuh di dunia, angin yang tersebar di mana-mana,
matahari dan rembulan, semuanya merupakan keadaan hidup. Jadi, semua yang ada
merupakan wujud kehidupan.
Menurut Syekh Siti Jenar yang
dinamakan makhluk hidup adalah kehidupan yang terperangkap dalam alam kematian.
Zat mati tak akan dapat menimbulkan kehidupan, sedangkan zat hidup tak akan
tersentuh kematian. Tuhan disebut zat yang mahahidup karena Dia eksis karena
Diri-Nya sendiri. Kekuatan hidup-Nya mengalir dalam alam kematian sehingga muncul
sebagai makhluk hidup. Sekarang bandingkan dengan tulisan-tulisan dari Barat
dewasa ini, akan kita temukan pernyataan mereka bahwa semuanya satu, semuanya
hidup. Dengan demikian, pandangan Syekh Siti Jenar luar biasa. Banyak
pandangannya yang justru bersesuaian dengan pandangan kaum teosofi maupun para
spiritualis dari Barat.
Bila kita menyadari bahwa lingkungan
kita adalah keadaan yang hidup, maka tentu kita akan memperlakukan lingkungan
kita dengan sebaik-baiknya karena kita dan lingkungan kita sebenarnya satu dan
sama-sama sebagai keadaan yang hidup. Bila kita menyadari tentu kita akan
berhati-hati dalam memperlakukan lingkungan kita.
Ajaran pokok yang kelima: pemahaman tentang ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti
Jenar yang ditulis oleh Aryawijaya: Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta
pribadi, pustining pangèstinira, gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu
dyatmika, nèng kahanan eneng ening. Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta
pribadi, maksud dan tujuannya disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam
keadaan sunyi dan jernih.
Menurut Syekh Siti Jenar manusia
haruslah kreatif karena manusia telah diberi anugerah oleh Yang Mahakuasa untuk
dapat mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Jadi,
ilmu sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapatkan
melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu hanyalah refleksi ilmu. Dan,
ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu lahir dari kedalaman batin telah
menjadi pemahaman yang universal. Itulah sebabnya orang-orang Barat tekun dalam
melakukan perenungan dan pengkajian terhadap tanda-tanda di alam semesta.
Jadi, harus ada suasana kondusif
bagi orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Suasana kondusif bagi ilmuwan
adalah iklim kerja yang membuat ilmuwan tersebut dapat bekerja dengan tenang,
nyaman, dan bebas dari berbagai penyebab kekalutan dan kesulitan. Dan, tentunya
hak-hak untuk dapat menjadi ilmuwan sejati haruslah dipenuhi. Ingat, setiap
orang telah diberi potensi dan talenta yang disebut kodrat. Dan, bagi mereka
yang memiliki kodrat untuk menjadi ilmuwan harus disediakan iklim kerja yang
kondusif sehingga bisa menghasilkan hal-hal yang dibutuhkan manusia.
Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang hidup saling membohongi. Banyak hal yang
sebenarnya kita sendiri tidak tahu, tapi kita menyampaikannya juga kepada
teman-teman kita. Hal ini banyak sekali terjadi dalam ajaran agama. Banyak
orang yang sekadar hafal dalil, tetapi sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang
dimaksud oleh dalil itu. Akhirnya pemahaman yang keliru itu menyebar dan
terbentuklah opini yang salah.
Masyarakat yang dipenuhi dengan
pemahaman dan opini yang salah sama dengan masyarakat yang dipenuhi sampah.
Masyarakat demikian pasti rawan terhadap serangan penyakit. Oleh karena itu,
masyarakat harus dibebaskan dari berbagai macam kebohongan. Masyarakat harus
diajar dan dididik untuk memahami segala sesuatu seperti apa adanya.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Ayat-ayat kitab suci harus dipahami
berdasarkan kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan serta diajarkan secara
harfiah sesuai dengan asal kitab suci tersebut. Agama harus diajarkan secara
arif dan bisa dibumikan, tidak terus menggantung di langit. Agama harus
diterjemahkan dalam bentuk yang dapat dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat
penerimanya.
Ajaran pokok yang ketujuh: nama Tuhan diberikan oleh manusia. Lima ratus tahun yang
lalu Syekh telah menyatakan dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama
pada Tuhan. Oleh karena itu, nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan
bahasa dan bangsa yang menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri
sebenarnya tidak perlu nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama
karena untuk membedakan dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak
keliru tunjuk atau salah sebut.
Bagi Syekh Siti Jenar, apapun
sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji, yang baik,
yang pantas. Bahkan dalam Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa
manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau
al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan
nama Allah, Ar Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain.
Sungguh, sangat mengherankan bila di
zaman sekarang ini kita berebut nama Tuhan. Secara teoritis umat Islam dididik
untuk meyakini bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Tetapi, dalam kenyataannya
sebagian orang Islam –seperti yang terjadi di Malaysia – malah meminta orang
yang beragama lain untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada
agama lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita –yang Muslim—
menolak pemeluk agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar
kita mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah waktunya kita ajarkan
ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang tanpa isi. Kita harus
menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar
itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang Indonesia , menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar merupakan penegakan Sila yang
pertama.
Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah
diterangkan bahwa agama adalah jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus
diajarkan untuk menjadi jalan hidup, sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang,
bahagia dan bersemangat dalam menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk
menjadi landasan moral dan perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai
luhur dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.
Jika di Eropa pada abad ke-19
orang-orang mulai mempertanyakan peranan agama, dan bahkan ada yang memandang
bahwa agama sebagai candu bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari
gelanggang kehidupan bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti
Jenar justru ingin menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi
pemeluknya. Oleh karena itu, agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara.
Di sinilah Syekh bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.
Syekh amat sadar bahwa di dunia ini
penuh dengan tipu daya. Hampir di semua negara pada waktu itu terjadi relasi
keuasaan antara raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan kata lain, raja
dan tokoh agama berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan
hidup oleh raja dan tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut
sebagai penipuan. Oleh karena itu, sudah waktunya agar agama benar-benar
menjadi milik masyarakat, dan negara tidak mengurusi agama. Yang diurusi oleh
negara adalah tegaknya hukum positif, perlindungan bagi setiap orang tanpa
memandang agama dan kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah kemakmuran,
kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam semesta adalah Wajah-Nya. Inilah
ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia adalah manifestasi wujud yang satu,
dan hakikat keberadaan bukanlah dualitas. Sehingga, kemana pun kita hadapkan
diri kita, maka sesungguhnya kita senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah
penampakan Wajah-Nya. Sekarang marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh
Siti Jenar.
Bersanggama
dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
Lahir
batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
Jadi, pada puncak perenungan dan
keheningan diri terjadilah penegasian eksistensi diri yang terkurung raga.
Ditegaskan bahwa kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih
tetap eksis maka di alam semesta ini masih berada dalam keadaan dualitas.
Keadaan inilah yang menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara
konseptual diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada urat lehernya.
Akan tetapi, selama keadaan dualitas belum sirna maka secara faktual Tuhan
masih jauh daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap berada di luar
dirinya.
Ada dualitas artinya kita mengakui
ada dua keberadaan, yaitu ada yang inferior (keberadaan yang kualitasnya lebih
rendah) dan ada yang superior (keberadaan yang kualitasnya lebih tinggi). Jika
demikian, kedua jenis keberadaan itu tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh
melaui suatu proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada
keberadaan yang kekal, maka tak mungkin ada fenomena atau penampakan di alam
semesta.
Kita hidup di dunia ini karena kita
kanggonan (didiami) urip (hidup) yang diberikan oleh Tuhan. Namun, badan
jasmani ini hanyalah fenomena yang terikat oleh ruang, waktu, situasi
psikologis. Hakikatnya badan jasmani ini tidak ada karena badan jasmani ini
seperti gambar yang menumpang di layar perak atau layar kaca. Kalau layar
digulung atau dimatikan ya lenyaplah fenomena tersebut. Jadi, memang benar
bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan kita adalah pemain-pemain sandiwara.
Oleh karena itu, kita harus dapat memainkan peran kita masing dengan baik.
Lalu, apa sasaran utama pelenyapan
dualitas? Sasaran pokoknya adalah menumbuhkan kesadaran akan ke-Satu-an,
Oneness, dalam kehidupan ini, baik kehidupan kita sebagai individu maupun
secara kolektif. Dengan lenyapnya perasaan dualitas dalam hidup ini, maka jarak
antara kawula dan Gusti akan hilang. Akan lahir individu-individu yang menjadi
dirinya sendiri, dan dalam kehidupan sosial akan tercipta interaksi antar
warganya secara tim, sehingga semua akan memenuhi fungsinya masing-masing dalam
kehidupan. Sekat antara pemimpin dan yang dipimpin akan hilang, dinding
penyekat antara raja dan rakyatnya akan runtuh. Bila ini sudah terjadi, maka
tak akan ada lagi eksploitasi terhadap sesama manusia.
Pelenyapan sekat antara kawula
(hamba, rakyat, atau bawahan) dan Gusti (raja, pemimpin, atau atasan) akan
melahirkan satu keberadaan yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Keberadaan
MKG ini akan menggugurkan kehidupan yang berkasta dan merontokkan feodalisme.
Relasi sesama manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu hubungan yang saling
menguntungkan. Sesama manusia hidup dalam suasana liberte, egalite dan
fraternite, yaitu hidup dalam kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan antara
sesama manusia di dunia ini. Dari sinilah Syekh membangun hubungan warga dengan
wadah yang disebut masyarakat, yang tidak dijumpai di Timur Tengah pada waktu
itu.
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan! (Achmad Chodjim, materi ini juga di sampaikan di Hotel Indonesia Kempinski-Grand Indonesia, 19 Mei 2009)
*) Ir. Achmad Chodjim MM, adalah
penulis buku “Syekh Siti jenar: Makna Kematian (jilid 1)”, “Syekh Siti Jenar:
Makrifat dan Makna Kehidupan (jilid 2)” dan “Mistik dan Makrifat Sunan
Kalijaga”.
Sumber : http://budayaleluhur.blogspot.com - Warisan Adiluhung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar