Jumat, 07 Desember 2012

LELAKON PUASA JAPA MANTRA By Slamet Priyadi


Denmas Priyadi
Sabtu, 26 Maret 2011 - KITA SEMUA WAYANG:  Salah satu persyaratan untuk memiliki ilmu kesaktian bela diri versi Jawa adalah adanya laku yang harus dijalani yaitu “Puasa”. 

Para leluhur kita yang lebih dikenal dengan nama Wong Agung Menak yang banyak memiliki bermacam ilmu kesaktian itu telah mewariskannya kepada kita. Akan tetapi untuk mendapatkan dan memiliki berbagai macam ilmu kesaktian tersebut, itu tidak mudah semudah kita membalik telapak tangan. Melainkan ada syarat-syarat yang harus dilakoninya atau dijalankan, seperti melakukan puasa 1 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan seterusnya.

Adapun macam-macam puasa untuk memiliki ilmu kesaktian tersebut antara lain adalah:

1.    Pati Geni,
Puasa Pati Geni adalah puasa yang tidak boleh melihat atau terkena cahaya. Jadi, anda harus berada ditempat gelap dan menghindari cahaya baik cahaya lampu atau cahaya matahari saat melakukan puasa Pati Geni ini.
2.    Nglowong,
Yaitu puasa tidak makan dan tidak minum, akan tetapi boleh melihat atau terkena cahaya.
3.    Ngebleng,
Yaitu puasa yang tidak boleh melihat terangnya hari. Jadi dalam melakukan puasa Ngebleng ini, anda harus berada di dalam kamar gelap mulai pagi hari hingga keesokan pagi lagi.
4.    Ngeluwang,
  Dalam menjalankan puasa Ngeluwang ini, anda harus berada di dalam tanah yang berlubang    yang memang telah anda buat sebelumnya. Selama melakukan puasa Ngeluwang anda tidak boleh makan dan minum.
5.    Ngidang,
Puasa Ngidang adalah puasa yang hanya boleh memakan daun-daun muda atau pupus. Jadi dalam melakukan puasa ini anda tidak boleh makan nasi dan makanan lainnya.

6.    Mutih,
Yaitu  puasa tidak boleh makan makanan yang berwarna. Hanya makan nasi putih tanpa lauk, air putih. Saat menjalankan puasa mutih ini, anda jangan merasakan makanan yang ada rasa asin, asam atau manis.
 
7.    Ngepel,
Dalam melaksanakan puasa Ngepel, anda hanya boleh makan nasi sekepel (segenggam) selama sehari semalam.

Sabtu, 26 Maret 2011
Slamet Priyadi di Lido-Bogor

Rabu, 05 Desember 2012

EKSISTENSI SABDA PALON Oleh Eko Wahyu Budi



JIKA kita telusur lebih jauh, cerita nubuatan semacam sumpah Sabda Palon tidak lebih dari sekedar karya sastra saja. Karya ini menggunakan cerita rakyat yang telah banyak beredar di masyarakat.

Dalam tradisi oral yang berkembang di sekitar Trowulan, wilayah yang diyakini sebagai salah satu situs Majapahit, konon hidup Sabda Palon dan Naya Genggong. Keduanya merupakan tokoh abdi dalem Keraton.

Meski kebenaran dua tokoh ini sukar diverifikasi, nama Sabda Palon dan Naya Genggong banyak disebutkan dalam cerita-cerita babad.

"Ketenaran" memberi peran baru kepada kedua tokoh ini. Hingga pada gilirannya, Sabda Palon dan Naya Genggong diangkat dari derajadnya yang tidak lebih dari abdi dalem biasa menjadi “danyang” Tanah Jawa.

Dengan demikian tradisi oral tentang cerita Sabda Palon dan Noyo Genggong telah memiliki nilai baru dan menjadi mitologi. Proses demikian adalah hal biasa terjadi mengingat adanya sejumlah kepentingan yang bermain.

Kenyataannya dalam tradisi lesan yang berkembang di Trowulan, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong bukan merupakan sosok yang anti Islam. Keduanya, sebagaimana hidup dalam tradisi oral masyarakat, adalah dua orang abdi Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Hal ini sudah tentu berbeda dengan sejumlah kisah babad yang menempatkan keduanya sebagai sosok mitologis.
 
Berdasarkan keterangan resmi Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan), kedua tokoh tersebut merupakan dua di antara 7 (tujuh) sosok yang dimakamkan di situs makam Troloyo yang terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Perlu diketahui bahwa ketujuh makam di situs Troloyo tersebut merupakan makam abdi dalem Majapahit yang telah memeluk agama Islam.

Namun tidak diragukan lagi bahwa cerita-cerita babad yang saat ini beredar, umumnya banyak yang menggali ide ceritanya dari tradisi lesan yang berkembang di suatu masyarakat tertentu. Tradisi lesan yang ada kemudian diberi muatan (nilai) baru dan dimodifikasi sesuai pesan yang hendak disampaikan; sehingga muncullah mitos-mitos tersebut. (Eko Wahyu Budi / CN33)


MENELISIK NILAI TRADISI JAMASAN PUSAKA DI BULAN SURA



image 
SUARA MERDEKA - RABU, 05 DESEMBER 2012: BANYAK BANYAK mitos mengatakan, jamasan pusaka (memandikan pusaka-red) di bulan Sura memiliki arti mistis. Tapi menurut beberapa orang, memandikan pusaka di bulan Sura justru menjadi salah satu upaya manusia untuk melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri.

Jamasan pusaka merupakan tradisi turun temurun untuk merawat benda pusaka, benda bersejarah, atau benda kuno yang harus dilakukan oleh para ahli pusaka di bulan Sura. Pusaka seperti keris dan tombak, bagi orang Jawa tidak dibuat sekadarnya, melainkan dengan laku atau prosesi yang 'dalam'.

Nilai

Tradisi jamasan di bulan sura menurut beberapa orang memiliki nilai filosofi tersendiri. Bagi orang Jawa, bulan Sura merupakan tahun baru Jawa yang menjadi bulan sakral dan penuh rahmat. Untuk itulah, masyarakat Jawa diharapkan melakukan introspeksi diri atas perbuatan yang telah dilakukan. Jamasan keris menjadi salah satu contohnya.

Memandikan, tak hanya sekadar untuk mengawetkan atau mempercantik keris. Membersihkan pusaka semisal keris juga diibaratkan membersihkan diri sendiri. Orang yang memandikan keris akan merefleksikan bahwa membuat keris tidaklah mudah. Dalam hal ini dibutuhkan doa dan spirit yang kuat, kesabaran, ketelitian, dan pantang menyerah. Nilai - nilai inilah yang akan diilhami oleh para ahli keris yang memandikan pusakanya.
Keris pun memiliki banyak filosofi kehidupan. Bagian-bagiannya seperti pesi (pegangan keris-red), gonjo, tikel alis, pijetan, greneng, yang banyak bercerita tentang kehidupan manusia. Di antaranya manusia perlu memiliki pegangan dalam hidupnya, manusia perlu mempertimbangkan segala perbuatan, perlu adanya musyawarah bersama, memiliki jiwa yang bersih.

Pada saat zaman Sultan Agung karena pusaka dibuat oleh seorang Empu, maka pusaka mendapatkan tempat istimewa seperti simbol status, senjata tikam, tanda jabatan.

Beberapa hal terlihat unik dari prosesi jamasan. Seperti tingkah laku dari sang ahli pusaka pada saat memandikan pusaka. Mereka mengangguk-anggukkan kepala seperti baru saja mendapat hal yang baru. Sementara, ada pula yang terus melontarkan pertanyaan kepada ahli pusaka itu. Perasan air jeruk nipis juga acap kali dijadikan 'pembersih' pusaka mereka. (Eko Wahyu Budi/CN32)